PANDANGAN KISRUH
TOKOH DAN PENOKOHAN :
- EMAK : POLOS, MUDAH TERHASUT, MATA DUITAN
- BAPAK : PENURUT, GAPTEK, BIJAK
- FITRI / ANAK : TEGUH PENDIRIAN, CERDAS
- TETANGGA : JANDA, USIL, SUKA MENGHASUT, RASA INGIN TAHU YANG TINGGI
- SANTO : LICIK, PICIK
ADEGAN 1
PANGGUNG TAMPAK LENGANG. MUSIK GAMELAN JAWA TERDENGAR DENGAN LAGU KHAS DOLANAN. TERDAPAT DUA ORANG YANG SEDANG MENCARI KUTU, YANG SATU TAMPAK DUDUK DIATAS KURSI PANJANG YANG TERBUAT DARI ROTAN, SEDANGKAN YANG SATUNYA LAGI SEDANG DUDUK DI BAWAH KURSI. LAMPU PERLAHAN MENYOROT KE ARAH MEREKA SEIRING DENGAN MUSIK YANG MEMELAN PERLAHAN.
- TETANGGA
“Jeng, anakmu yang merantau itu kalau pilihan kepala desa pulang tidak?” (DUDUK DAN MENCARI KUTU DI RAMBUT EMAK)
- EMAK
“Entahlah Jeng. Anakku itu kan sekolah tho. Kuliah. Kalau sekolahnya tidak libur bagaimana bisa pulang?” (MEMBANGGAKAN ANAKNYA YANG BISA KULIAH)
- TETANGGA
“Lho… lho… lho…. Ya tidak bisa begitu tho Jeng. Anaknya Jeng Minah aja sudah pulang sejak kemarin kok.”
- EMAK
“Anaknya Minah kan sudah habis kontrak kerjanya. Makanya sudah pulang dari kemarin. Kalau saja belum habis kontrak kerja, ya dia tidak bakal pulang.”
- TETANGGA
“Oh… gitu tho Jeng. Tapi haknya sebagai warga desa untuk memilih hilang begitu saja?” (MANGGUT-MANGGUT SEOLAH MENGERTI DAN BERTANYA KEMBALI)
- EMAK
“Kamu ini kebanyakan tapi. Ya sudah jelas pasti akan hangus lah.” (MULAI JENUH DENGAN PEMBICARAAN)
- TETANGGA
“Ih… kasihan amat ya Jeng. Padahal kita bakalan dapat uang dua ratus ribu loh.” (UCAP TETANGGA DENGAN MENGGEBU-GEBU)
- EMAK
“Masak? Dari mana tuh? Kata siapa? (EMAK MULAI TERTARIK)
- TETANGGA
“Lho, Jeng ini tidak tahu apa pura-pura tidak tahu? Ceritanya sudah menyebar kemana-mana. Bahkan satu desa pun sudah tahu kalau si Parmin itu bakalan ngasih uang dua ratus ribu. Dua ratus ribu lho jeng. Belum lagi aku dengar-dengar lawannya Parmin juga tidak mau kalah tuh. Tapi belum pasti dia bakalan memberi uang berapa? Belum lagi ditambah nanti habis mencoblos kita dikasih amplop lagi. Pesta uang kok gak pulang. Jadi mahasiswa kok bego.” (BERANJAK DARI KURSI ROTAN)
- EMAK
“Kalau punya mulut tuh dijaga Jeng. Jeng itu kan baru dengar-dengar tho. Itu tandanya baru kabar burung. Belum jelas. Belum tentu. Lagian ngapaian nyangkut-nyangkutin anakku. Ngatain bego lagi.” (SEMANGAT MENGGEBU DAN TIDAK TERIMA ANAKNYA DIHINA)
- TETANGGA
“Maaf jeng. Bukan maksudku lho. Habis Jeng sendiri tak kasih tahu tidak percaya.” (MASIH DENGAN MEYAKINKAN EMAK)
- EMAK
“Sudah…sudah Jeng. Bicaranya kok tambah ngawur.” (EMAK MENCOBA MENYUDAHI PERCAKAPAN)
- TETANGGA
(MENGGERUTU SAMBIL MENGAMBIL KUTU)
-----
ADEGAN 2
TERDAPAT SEPERANGKAT KURSI DAN MEJA YANG SEDERHANA DI SISI KANAN PANGGUNG. SUARA JANGKRIK TERDENGAR DENGAN SYAHDU. LAMPU MENYOROT FOKUS PADA SEPERANGKAT KURSI DAN MEJA. EFEK MALAM TERLIHAT DARI PERPADUAN WARNA LAMPU YANG MENYALA. TELEPON GENGGAM EMAK BERDERING DI ATAS MEJA DENGAN NADA DANGDUT KHAS PANTURA.
- BAPAK
“Bu, itu teleponnya berbunyi” (DUDUK DI ATAS KURSI MENIKMATI SECANGKIR TEH MANIS DAN TERGANGGU DENGAN BUNYI TELEPON)
- EMAK
“Mbok ya diangkat dulu tho Pak. Siapa tahu itu anakmu.” (GERUTU EMAK DARI DALAM SAMBIL MENUJU TEMPAT TELEPON GENGGAM)
- BAPAK
“Sudah tahu Bapak gak bisa main begituan. Masih saja disuruh.” (BAPAK MEMBELA DIRI DENGAN KESAL)
- EMAK
“Lha wong tinggal pencet yang ijo saja ndak tahu. Latihan tho Pak” (SEBAL DENGAN BAPAK)
“Halo. Ini siapa?” (MENGANGKAT TELEPON GENGGAM)
- ANAK
“Halo Mak. Ini Iin Mak. Iin Mau pulang besok Mak.”
- EMAK
“Oh. Iya Nduk. Berarti kalau pulang kamu ikut mencoblos kan nduk?” (BERTANYA PENUH HARAP)
- ANAK
“Nyoblos Mak? Nyoblos apa? Fitri gak ngerti Mak” (TAMPAK BINGUNG DENGAN PERTANYAAN EMAKNYA)
- EMAK
“Ih. Kamu ini tak sekolahkan jauh-jauh masak ndak tahu”
- ANAK
“Ndak tahu Mak. Mak kalau ngomong yang jelas tho.”
- EMAK
“Kamu kan udah tak beliin HP yang canggih itu tho. Masak di pesbuk gak ada beritanya?” (MASIH MENCOBA MEMBERIKAN KODE)
- ANAK
“Apaan sih Mak? Gak bisa terus terang ya?” (MULAI PUSING)
- EMAK
“Lima hari lagi kan desa kita mengadakan pemilihan kepala desa Nduk.”
- ANAK
“Wah. Kok lima hari lagi ya Mak. Fitri kan gak libur.”
“Fitri ada UTS Mak.”
- EMAK
“Lho…lho..lho… kalau gak libur kan ya bisa izin Nduk. Lagi pula ini akan menjadi pesta uang Nduk. Kita bakal makan enak.” (EMAK MENJELASKAN DENGAN SANGAT PERSUASIF DAN MENGGAIRAHKAN)
- ANAK
“ Lah. Bosen . mesti politik uang.”
“Fitri gak bisa Mak. Ada UTS.”
- EMAK
“UTS itu apa sih Nduk?” (TANYA EMAK TIDAK MENGERTI)
TUT…TUT…TUT… SUARA TELEPON TERPUTUS.
- ANAK
“Yah. Abis pulsanya.”
- EMAK
“ Halo…halo… Fit… Nduk. Yah lha kok mati.” (SEDIH KARENA RASA PENASARANNYA BELUM TERJAWAB)
- BAPAK
“Pulsanya Fitri habis paling Bu. Tidak usah sedih.” (MASIH DUDUK DI ATAS KURSI)
- EMAK
“Bapak ini sok tahu. Ngangkat telepon saja ndak bisa kok.” (CETUS EMAK DENGAN KETUS)
- BAPAK
“Dasar perempuan sewot melulu.” (MENGGELENG-GELENGKAN KEPALA)
PANGGUNG PADAM
-----
ADEGAN 3
EFEK SUARA KICAU BURUNG TERDENGAR KESANA KEMARI. PANGGUNG TAMPAK KOTOR DENGAN DAUN-DAUN DI DEPAN HALAMAN RUMAH EMAK. ESOK HARI EMAK SEDANG MENYAPU HALAMAN RUMAH. BAJU EMAK YANG KEDODORAN BELUM SEMPAT BERGANTI PAKAIAN SEMENJAK SORE.
- TETANGGA
“Lagi nyapu Jeng.” (BERTANYA PENUH BASA BASI)
- EMAK
“Hehehe…. Lagi nyangkul jeng.” (MENJAWAB SEKENANYA)
“Sudah tau pegang sapu ya lagi nyapu lah.” (KESAL)
- TETANGGA
“Ye… biasa saja sih Jeng. Gitu saja sewot.” (MENGELAP KACA DEPAN RUMAHNYA)
- EMAK
“Anakku nanti pulang lho.” (MENGAMBIL SEROK SAMPAH)
- TETANGGA
“ Wah. Seru nih Jeng. Bakalan panen uang.”
- EMAK
“Ya, semoga saja. Tapi, kata anakku dia gak ikut nyoblos. Ada TPS katanya.”
- TETANGGA
“TPS? Dimana Jeng?”
- EMAK
“Ya di kampusnya Lah.”
- TETANGGA
“Wah. Desa kita sudah canggih ya. TPSnya sudah sampai di kampusnya anak Jeng.” (BERDECAK KAGUM)
- EMAK
“Tapi dia tidak akan nyoblos katanya.” (MENGERUK SAMPAH DAUN)
- TETANGGA
“Wah. Sayang sekali Jeng.”
“Ada fasilitas kok tidak dimanfaatkan.”
- EMAK
“Fasilitas apa tho?” (TAMPAK TAK MENGERTI)
- TETANGGA
“TPS itu Tempat Pemungutan Suara Jeng. Tempatnya orang-orang pada nyoblos.” (MENJELASKAN DENGAN LAP KACA YANG DI KIBAS-KIBASKAN LAYAKNYA KIPAS)
- EMAK
“Bukannya nyoblos itu di kantor kepala desa. Di balai desa.”
- TETANGGA
“Ya kalau setinggat pemilihan kepela desa TPSnya di balai desa Jeng.” (MENCOBA MENJELASKAN)
- EMAK
“Oh… berarti balai desa juga TPS tho?”
- TETANGGA
“Tepat sekali Jeng.”
DENGAN PAKAIAN YANG MODIS DAN DENGAN BALUTAN SENYUM MANIS MENENTENG SATU TAS JINJING DAN SATU RANSEL DI PUNGGUNGNYA, FITRI MEMASUKI PANGGUNG.
- ANAK
“Assalamualaikum.” (MASUK KE DALAM PANGGUNG DAN SALIM KEPADA EMAK)
- EMAK
“Waalaikumsalam Nduk.” (MENGULURKAN TANGANNYA UNTUK DISALIM)
- TETANGGA
“Walah, walah, Cah Ayu sudah pulang tho?” (MEMANDANG FITRI DARI BAWAH KE ATAS)
- ANAK
“Sudah Mbak.” (TERSENYUM)
- EMAK
“Lekas masuk rumah. Mandi dan makan Nduk.”
- ANAK
“Baik Mak.” (MASUK KE DALAM RUMAH)
- TETANGGA
“Semakin cantik saja Si Fitri. Uang bulanannya pasti gede ya?” (TELISIK PENUH IRI)
- EMAK
“Tidak lah Jeng. Mana kuat aku membiayai Fitri hidup mewah di rantau. Kamu kan tahu sendiri lah Jeng bagaimana keadaan keluargaku?”
- TETANGGA
“Buktinya Fitri semakin cantik. Tampak mukanya penuh dengan dempul make-up yang mahal.”
- EMAK
“Aku boleh ngomong sesuatu tidak Jeng?” (BERBISIK DI TELINGA TETANGGA)
- TETANGGA
“Apa-apa?” (PENASARAN)
- EMAK
“Jadi orang jangan berburuk sangka terus Jeng. Dari dulu sukanya mencampuri urusan orang saja!” (MENCIBIR KESAL)
- TETANGGA
(TANPA BERKATA MASUK KE DALAM RUMAH)
---
ADEGAN 4
RUANG TAMU TAMPAK MENYALA DENGAN AKTIVITAS EMAK, ANAK, DAN JUGA BAPAK. FITRI SIBUK MENGIRIS CABAI MERAH DAN BAWANG PUTIH. EMAK TERLIHAT MEMILAH KANGKUNG UNTUK SAYUR ESOK HARI, DAN BAPAK YANG ASYIK DENGAN TONTONAN DANGDUT YANG SEDANG NAIK DAUN.
- EMAK
“Nduk. Kamu ikut nyoblos kan?” (MEMILIH KANGKUNG YANG BAGUS)
- BAPAK
“Kalau ada kepentingan lain ya ndak usah ikut gakpapa Nduk.” (MENYERUPUT KOPI DI ATAS MEJA)
- EMAK
“Ya harus milih tho Pak. Harus nyoblos. Ini kan berkait dengan masa depan kita semua.”
- BAPAK
“Ibu ini kayak belum tahu saja.” (MENGINGAT KEJADIAN SEBELUMNYA)
- EMAK
“Tahu apa tho Pak?” (MELIRIK BAPAK DENGAN SINIS)
- BAPAK
“Ibu kan sudah belasan tahun hidup dengan Bapak. Sudah berkali-kali menjumpai situasi yang seperti ini. Jangan menyudutkan anakmu.”
- EMAK
“Menyudutkan? Bapak tidak usah mulai lagi ya. Situasi apa yang Bapak maksud?” (EMOSINYA MULAI TERPANCING)
- BAPAK
“Situasi apa lagi kalau tidak situasi seperti sekarang ini Bu. Pemilu hanya sebagai topeng saja. Siapapun nanti yang terpilih juga sama saja. Mereka hanya obral uang dan obral janji. Ketika sudah jadi nantinya, mereka juga tidak mau rugi Bu. Ujung-ujungnya korupsi.”
- EMAK
“Hus. Bapak ini ngawur saja. Mbok ya jangan berprasangka buruk begitu Pak.”
- BAPAK
“Ini sudah fakta bertahun-tahun Bu. Jangan hanya hidup kita pas-pasan lantas kita tertarik akan uang?”
- EMAK
“Tertarik akan uang? Aku tak pernah mengeluh kepada Bapak perihal uang belanja yang kerap kali kurang tiap bulan. Lagi pula dikasih uang kok ditolak. Tidak baik kalau menolak rejeki.” (TERSINGGUNG)
- ANAK
“Sudah-sudah. Bapak sama Emak ini kok berantem terus. Padahal ada aku lho. Anaknya pulang tidak malah akur tapi tambah kisruh saja.” (RAUT WAJAH GERAM DENGAN EMAK DAN BAPAKNYA)
- BAPAK
“Habis Emakmu yang mulai duluan Nduk.”
- EMAK
“Lho, kok jadi aku yang disalahkan? Mulanya kan aku bertanya pada si Fitri. Eh, malah yang jawab Bapak. Udah gitu yang disalahkan Ibu Lagi.”
- ANAK
“Sudah-sudah tidak usah dilanjutkan. Anaknya sudah gadis masih saja bertengkar seperti anak kecil saja.”
“Ngomong-ngomong. Siapa saja calonnya kali ini Mak?”
- BAPAK
“Itu lho Fit. Si Agus sama Si Parmin. Pertarungan mereka sengit sekali. Sama-sama dari keluarga berada. Orang kaya semua. Tak heran jika Pemilu kali ini banyak yang menyebutnya pesta uang.”
- EMAK
“Lagi-lagi Bapak menyerobot jatah Ibu. Yang ditanya Ibu kan pak?”
- ANAK
“Sudah Bu. Yang terpenting pertanyaanku terjawab tho.”
- EMAK
“Pikirkan baik-baik lho Nduk. Dua ratus ribu itu bukan uang yang sedikit. Lagi pula izin sehari juga tak masalah kan?”
- ANAK
“Tapi, Fitri ada….”
- EMAK
“Kamu kalau pulang selalu cuma sehari doang. Numpang tidur tok. Tak pernah lebih dari itu. Apa kamu ini tidak mengerti perasaan Emak dan Bapak Nduk? Kami kesepian. Hanya berdua saja. Sudah renta dan hanya berdua. Sepi Nduk.” (POTONG EMAK TERHADAP KALIMAT FITRI DAN SETENGAH MENANGIS AKIBAT DARI BAWANG MERAH YANG DIKELUPASNYA)
- BAPAK
“Kita memang kesepian Nduk. Tapi demi masa depanmu nanti, janganlah kamu mendengarkan apa kata Makmu itu.”
- EMAK
“Bapak ini bagaimana? Ngajari anaknya berani sama orang tua.”
- BAPAK
“Bukan begitu maksud Bapak Bu.”
- FITRI
“Fitri ini sudah besar Mak, Pak. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk. Lagi pula Pemilu dan kuliah sama-sama penting. Bedanya yang Pemilu kepentingan umum dan kuliah kepentingan pribadi Fitri. Akan Fitri pikirkan dulu.” (BANGKIT DAN BERLALU MENGAMBIL AIR MINUM)
TERDENGAR SUARA JEJAK KAKI MENDEKATI MEREKA BERDUA. SUARA SALAM TERDENGAR DARI LUAR RUMAH.
- SANTO
“Assalamualaikum Lek.” (DENGAN SUARA YANG LANTANG)
- EMAK
“Waalaikumsalam” (BERGEGAS MEMBUKAKAN PINTU)
- BAPAK
“Siapa Bu?”
- EMAK
“Santo Pak
- SANTO
“Assalamualaikum Kang.” (BERSALAMAN DENGAN BAPAK)
- BAPAK
“Waalaikumsalam To. Kok tumben kamu kesini? Ada perlu apa?
- EMAK
“Nduk, ada tamu ini lho. Tolong buatkan teh ya.”
- ANAK
“Baik Bu.”
- SANTO
“Walah tidak usah repot-repot Yu. Tidak usah. Saya Cuma sebentar kok.”
- EMAK
“Kalau Cuma teh saja tidak repot kok.”
- SANTO
(DUDUK BERSILA DI DEPAN TELEVISI) “Jadi begini Kang, sebentar lagi kan pemilihan kepala desa. Anu… anu…. (TERBATA-BATA)
- EMAK
“Anu kenapa? Kalau ngomong mbok ya yang jelas.”
- SANTO
“Anu… itu… lho… (MASIH GAGAP)
- BAPAK
“Kalau ngomong terus terang saja. Aku ini juga sudah paham maksudmu.”
- SANTO
“Jangan salah paham dulu Kang. Saya tidak bermaksud menggunakan kampanye hitam dalam politik. Akan tetapi ini sangat mendesak kondisinya.” (RAUT WAJAH SERIUS DAN PENUH HARAP)
- BAPAK
“Basi. Lagu lama kok masih muk pakai to To, To.”
- EMAK
“Bapak ini berprasangka buruk saja. Biar Santo selesaikan dulu ngomongnya.” (RAUT SEBAL KEPADA BAPAK)
“Ayo To. Lanjutkanlah maksudmu.” (SENYUM MANIS DAN BERFIRASAT AKAN MENDAPAT UANG)
- SANTO
“Si Parmin itu lho Kang. Dia nyalon kepala desa. Ingin mengikuti jejak Bapaknya katanya. Ingin membangun desa kita. Menerima keluh kesah warga Kang. Kabarnya akan diadakan pertemuan antara perangkat desa dengan warga setiap minggunya jika ia terpilih Kang.”
“Saya sebagai tim dari Parmin ingin meminta dukungan kepada keluarga ini supaya nanti bisa enak kedepannya Kang.” (MENYELIPKAN DUA AMPLOP KE SAKU BAPAK)
- BAPAK
“Apa maksudnya ini?” (MEMEGANG AMPLOP DENGAN WAJAH MEMERAH)
- EMAK
“Jangan marah-marah Pak.” (MENYAHUT AMPLOP DARI TANGAN BAPAK)
“Biarkan kita dengarkan Santo berbicara dulu.” (MELIHAT KE ARAH SANTO)
- SANTO
“Begini Kang. Itu sebagai salah satu apresiasi tim kami untuk keluarga yang bersedia membantu.”
- EMAK
“Bagus banget To. Apresiasi emangnya apa?
- SANTO
“Anu Bu. Itu. Bentuk terima kasih.
- BAPAK
“Kembalikan Bu.” (MEMBENTAK IBU)
- EMAK
“Sebentar dulu tho Pak”
- FITRI
“Monggo Mas.” (FITRI MASUK MEMBAWA MINUMAN DAN TERSENYUM KEPADA SANTO LALU KEMBALI MASUK KE DAPUR)
- SANTO
“Iya Fit. Terima kasih. (SENYUM SANTO KEPADA FITRI MENANDAKAN SESUATU)
- EMAK
“Terima kasih atas bentuk terima kasihnya tim Nak Santo kepada keluarga kami.” (MENYELIPKAN AMPLOP KE DALAM BUAH DADA)
- BAPAK
(MELOTOT KE IBU)
- EMAK
“Sudah lah Pak. Niat baik Nak Santo ini tak patut kita tolak. Orang mau berbuat baik kok dicegah. Neraka lho Pak. (MENCIBIR KE SUAMINYA)
- SANTO
“Saya pamit dulu kalau begitu Kang, Yu.” (BERDIRI BERGEGAS PULANG)
- EMAK
“Nak Santo hati-hati ya.
- BAPAK
“Ibu ini selalu tidak bisa kalau diomongin”
- EMAK
“Sudahlah Pak. Kita terima saja uangnya. Milih enggaknya kan nanti bergantung kita. Si Parmin sialan juga tidak bakal tahu.” (MEYAKINKAN IBU)
- BAPAK
“Terserah saja lah Bu. Ibu memang susahkalau dinasehati.”
“ Si Parmin itu sebenarnya orangnya cerdas, Cuma yang disayangkan Ayahnya gak bener. Bapak takutnya nanti kalau dia bakal jadi kepala desa dia akan menjadi boneka Ayahnya. Ibu ingat tidak kalau yang menelantarkan tanah warga buat pembangunan aliran banjir yang sampai sekarang tidak kelar-kelar? Ayahnya Parmin tuh dalang dari semuanya.” (MENGUMPAT, MARAH, TIDAK TERIMA, MENUNJUK TANAH YANG DISEBUT)
- EMAK
“Bapak itu tidak boleh begitu. Ayah sama anak jangan disamaratakan. Berbeda kali Pak. Parmin kan berpendidikan tinggi. Dia masih muda. Dia tahu kok mana yang terbaik? Dia tidak akan mudah patuh saja dengan Ayahnya kalau ayahnya salah.”
- BAPAK
“Buah tak jatuh jauh dari pohonnya Pak.”
- EMAK
“Jangan selalu berprasangka buruh Pak. Tidak baik.”
- BAPAK
“Berprsangka buruk? Sudah terbukti Bu. Mbok ya melek Bu. Tadi Si Santo maksudnya apa coba? Kalau Si Parmin benar-benar berniat baik, dia tidak akan memakai cara-cara kotor seperti tadi.”
- FITRI
“Fitri mendengar semua yang Bapak dan Emak bicarakan lho. Yang sama Mas Santo juga” (TIBA-TTIBA MUNCUL DARI DAPUR DAN MENYAHUT OBROLAN)
“Mas Santo itu mempunyai gelagat yang tidak baik Mak, Pak.”
- EMAK
“Jangan sok tahu Nduk.”
- FITRI
“Dari tatapan matanya tadi kelihatan kok Mak. Mata tak akan bisa bohong kan?”
“Fitri sudah pengalaman kalau soal cowok.” (MENEBAS DADANYA)
- BAPAK
“Kamu sekolah saja yang benar. Malah mikirin cowok.”
- FITRI
“Jangan salah paham dulu Pak. Fitri fokus kuliah kok. Fitri tahu karena dari berbagai media sosial milik Mas Santo. Fitri dari kecil kan satu sekolah sama Mas Santo. Bahkan sering kali kita satu kelas.”
- EMAK
“Teruskan Fit. Teruskan.” (MENCOBA MENGGALI INFORMASI UNTUK BAHAN PERBINCANGAN DENGAN TETANGGA)
- BAPAK
“Sudah tidak usah dilanjutkan Nduk. Bapak sudah tahu. Tidak usah dituruti Emakmu itu.”
- EMAK
“Bapak ini selalu begitu. Sok tahu tapi ujung-ujungnya Ibu yang benar.” (PEMBELAAN BERDASARKAN KEJADIAN YANG LALU)
- BAPAK
“Tapi Bapak juga pernah benar lho Bu.”
- EMAK
“Sudah lah terserah saja.” (BERJALAN MENUJU KAMAR TIDUR DENGAN RAUT MUKA CEMBERUT)
- BAPAK
“Biarkan Makmu itu. Memang sikapnya semenjak kamu kuliah sedikit berbeda Nduk.”
- FITRI
“Fitri paham Pak.”
---
ADEGAN 5
PANGGUNG SEDIKIT REDUP DAN MENYALA LAGI DENGAN POSISI DI DALAM RUMAH TETANGGA
- TETANGGA
“Kamu sudah ke rumah sebelah belum?”
- SANTO
“Sudah Mbak.”
- TETANGGA
“Terus, terus, bagaimana?”
- SANTO
“Bagaimana apanya Mbak?”
- TETANGGA
“Ya. Respon dari mereka.”
- SANTO
“Walah Mbak. Sama saja. Semua orang pada munafik.” (MEROKOK DENGAN ASAP MENGEPUL)
- TETANGGA
“Semua orang maksudmu?” (TAMPAK TAK TERIMA)
- SANTO
“Ya kecuali Mbak tentunya.”
- TETANGGA
“Nah, mbok yan begitu. Bagaimana bagaimana? Cerita dong.”
- SANTO
“Awalnya sih sok suci Mbak. Suaminya itu lho bikin sebal saja. Istrinya mata duitan minta ampun.”
- TETANGGA
“lah, ya sudah tidak diragukan lagi. Mulutnya saja banyak. Menyebar kemana-mana. Senggol soal uang sedikit antusiasnya langsung membludak. Fitri pulang kan karena Emaknya itu yang ngebet banget dengan duit. (BERSIKAP SIRIK)
- SANTO
“Fitri tambah cantik saja ya Mbak. Tambah yahut.” (MEMIKIRKAN FITRI)
- TETANGGA
“Palingan juga cantik karena berdandan. Jangan tertipu kamu.”
- SANTO
“Cantiknya alami kok Mbak. Tadi pas aku ke rumahnya, Fitri sedang memakai baju tidur tanpa make-up apapun. Alami dan menggoda. (MEMIKIRKAN HAL JOROK)
- TETANGGA
“Kena batunya baru kapok kamu. Jangan mimpi sama Fitri. Diporotin emaknya baru tahu rasa.”
- SANTO
“Fitri kan beda dengan Emaknya itu. Fitri cerdas kok.”
- TETANGGA
“Bela Fitri saja terus. Orang lagi kasmaran memang susah. Disadarkan tidak mau ya sudah. Kok jadi ngomongin Si Fitri sih. Rencana kita bagaimana?
- SANTO
“Semuanya lancar. Berjalan sangat mulus.orang di desa ini memang kebanyakan mata duitan. Bodoh semua.”
- TETANGGA
“Bagus. Rencana awal berhasil. Kita berpeluang besar akan menang dalam pemilu ini. kamu ingat tidak San?”
- SANTO
“Inga tapa Mbak?”
- TETANGGA
“Sejak dulu yang ada uang itulah yang menang. Mereka tidak memikirkan masa depan desanya sendiri dan tidak pandai dalam memilih pemimpin yang tepat. Proyek aliran banjir saja sepertin itu tetapi yang protes ya orang-orangnya itu-itu saja. Yang lainnya tak peduli”
- SANTO
“Kalau dulu sih aku juga tidak begitu peduli Mbak. Dulu aku masih bau kencur. Sekarang aku sudah merasakan susahnya kehidupan Mbak. Mencari sesuap nasi saja harus jungkir balik terlebih dahulu.” (MENGIBAS-NGIBASKAN TOPI UNTUK DIGUNAKAN KIPAS)
“Kalu tidak demi uang tak akan aku lakukan semua ini. calon yang kita bela mati-matian saja tidak mau kita bantu.”
- TETANGGA
“Jangan seperti itu. Ini kan perintah ayahnya Parmin. Kalau sampai anak buahnya ada yang tahu, celakalah kita.”
- SANTO
“iya-iya Mbak. Santo tahu. Kan Santo pintar Mbak.”
- TETANGGA
“Ini bocah, kalau pintar ngapain kamu repot-repot kerja seperti ini.”
- SANTO
(TERTAWA) Sudahlah Mbak. Aku Cuma masih kesal saja sama Si Parmin.”
- TETANGGA
“Apa lagi tho yang kamu kesalkan? Upahmu lebih besar daripada kesalmu ini kan?”
- SANTO
“Iya sih Mbak. Tadi siang aku tidak sengaja bertemu dengan Si Parmin. Berpapasan di depan mushola saat selesai sholat dhuhur.”“Dia bertanya seolah dia orang suci. Dia bertanya aku mau kemana? Kok bawa amplop? Apa kaitannya?
- TETANGGA
“Halah, lagu lama. Sudah biasa. Para calon kan memang berbuat baik kepada semua orang kalau sedang dalam kondisi seperti ini. nanti dia juga bakalan lupa sama pidato kenegaraannya. Semua janjinya.
- SANTO
“Nah, itu tuh yang menyebalkan. Andai saja aku banyak uang. Aku bakalan nyalon jadi kepala desa di sini. Akan ku ubah semua sistem dan tatanan masyarakat.” (MENGANDAI-ANDAI)
- TETANGGA
“Kamu dari tadi ngomongnya nglantur terus. Fitri lah, kepala desa lah, nanti apa lagi yang kau bicarakan?”
- SANTO
“Ya biarin tho Mbak. Aku gini-gini juga masih mempunyai impian. Aku tidak asli pengangguran.”
- TETANGGA
“Sayangnya impianmu itu tanpa usaha San. Percuma. Tidak aka nada gunanya. Lebih baik kamu sadar dan terima diri kamu saat ini sajalah.”
- SANTO
“Iya, iya Mbak. Tidak bisa banget melihat aku senang sedikit.”
“Besok kita ke rumah Parmin ya Mbak.” (MENGUAP)
- TETANGGA
“Tidak usah kamu ajak juga aku bakalan datang kesana. Sudah ada dalam agendaku kalau besok adalah jadwalnya laporan sama Bos Besar.” (TERANGNYA DENGAN SEDIKIT MENGOMEL)
- SANTO
“Data yang telah ku berikan tadi ingat baik-baik Mbak.”
- TETANGGA
“Beres. Percayakan semua padaku. Sudah kamu pastikan kan?”
- SANTO
“Sudah Mbak. Kita untung banyak. Orang-orang juga tidak tahu sebenarnya mereka dikasih jatah berapa sama Si Ayahnya Parmin itu. Jadi kita aman Mbak.”
- TETANGGA
“Bagus San. Kamu memang patner bisnis yang sangat cerdas.” (BERGEGAS MENUTUP PINTU DEPAN)
- SANTO
“Kok pintunya mau ditutp sih Mbak.” (BERANJAK DARI TAMPAT DUDUKNYA)
- TETANGA
“Sudah malam. Kita bertemu lagi saja besok. Sana kamu pulang. Mbak kan janda. Tidak baik dilihat tetangga. Nanti disangka Mbak ada main lagi sama kamu.”
- SANTO
“Memang ada main kan Mbak.” (MENGEDIPKAN MATA)
LAMPU PADAM
Sumber : Karya Penulis
MOHON MENYERTAKAN SUMBER JIKA MENGUTIP