TERJEBAK MASA DEPAN

Tak semudah menggelincirkan bola dalam bebatuan terjal. Aku mencintaimu dan aku lemah karenamu.

 

Pagi cerah dengan terik yang memancar sempurna menandakan hangatnya dunia hari ini. Betapa besar kuasa Tuhan yang dilimpahkan tergambar sudah lewat semesta alam. Semua orang sibuk dengan dunia mereka seakan mereka melupakan pagi ini adalah anugerah dari Tuhan.

Tubuhku masih membujur diatas kasur. Selimut masih memelukku dengan erat. aku memang seorang mahasiswa yang mendadak pemalas saat hari senin tiba. Hari ini adalah hari kuliah dengan mata kuliah yang sangat ku sukai dan sangat ku takuti. Aku selalu tidak siap saat masuk dalam kelas mata kuliah ini.

Aku memang mahasiswa yang terjerumus dalam bidang sastra. Aku bukanlah seorang sastrawan yang pandai merangkai kata. Memunculkan konflik dalam setiap alur cerpen yang dibuat. Membacakan puisi romantis dengan perasaan yang menjiwai sepenuhnya. Bukan… aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku hanyalah seorang mahasiswa yang pandai memunculkan konflik dalam diriku sendiri. Pergulatan batin tidak membuat tubuhku semakin tergerogoti melainkan semakin menggembung.

Ya, semakin banyak pikiran yang aku pendam semakin lebar saja badan yang ku punya. Memang ke sengaja meneruskan sekolah dalam jurusan sastra. Akan tetapi aku tak menyangka semua akan berajalan seperti ini. Semester pertama ku lalui dengan aman. Meski aku harus jungkir balik menyesuaikan diri dengan materi baru dan dengan lingkungan baru. Aku masih bisa berkata “aku bisa, aku mampu, dan aku harus sukses”.

Semester dua aku jalani dengan perasaan yang tak karuan. Aku sudah mulai tahu dan mengerti arah dan tujuan dari jurusanku ini bermuara. Aku sedikit lega dan bangga bisa menjadi bagian dari jurusanku ini.

Semester tiga aku lalui dengan penuh keringat dan darah yang mengguyur deras. Aku sampai harus jungkir balik beribu-ribu kali untuk bisa setara dengan yang lainnya. Perkiraannku meleset dengan sempurna. Aku kira menulis dan berbicara adalah hal yang mudah. Semua orang juga bisa. Aku pun berfikir akan dengan mudah menjadi seorang penulis handal dalam bidang fiksi maupun jurnalistik. Kenyataan yang ku terima sungguh sangat pahit. Menulis bukanlah sekadar menggoreskan pulpen diatas kertas kosong. Bukanlah sekadar mengetik di lembaran Ms. Word. Menulis membutuhkan ide dan gagasan yang unik, menarik. Membutuhkan kepiawaian dalam menyusun dan menyajikan kata. Belum lagi ditambah dengan unsur sastra untuk memperindah. Semuanya harus dimiliki oleh seorang mahasiswa jurusan sastra Indonesia. Bagaimana aku bisa dikatakan seorang mahasiswa sastra Indonesia kalau menulis sebuah cerpen saja tak bisa?

“Aku bisa kok membuat sebuah cerpen”, pernyataanku dengan penuh bangga.

Lagi, lagi ku robohkan sendiri tembok percaya diri yang dengan susah payah aku bangun. Ya, aku memang bisa membuat sebuah cerpen, tapi dengan konflik yang biasa saja dan bahkan tak bermutu. Sudah umum. Sudah basi. Bau kecut.

 

---

 

Aku berlari menapaki tangga demi tangga gedung jurusanku. Kakiku memang sedang berlari akan tetapi hatiku menciut memerintahkan badanku untuk berbalik dan pulang. Tapi, kaki sialan ini telah sempurna membawaku mendarat di dalam ruang kelas dengan bahagia.

“Dosennya masuk tidak Nim?”, tanyaku pada Anim selaku penanggung jawab mata kuliah.

“Masuk kok. Rada telat tapi”, Jawab Anim dengan santainya.

Sebagian temanku sibuk dengan menukarkan cerpennya dengan yang lain. Saling memberi komentar dan sanggahan. Sebagian lagi sibuk berdandan melukis wajah dengan menampilkan pancaran kepalsuan. Sebagian lagi sibuk dengan telepon genggang masing-masing. Aku yang masih ngos-ngosan sedang membaca ulang cerpen yang telah ku buat malam lalu sampai tak tidur. Aku baca berulang kali berusaha menemukan titik unik dan titik sastra cerepenku ini. tiga kali ku baca, tiga kali juga aku tertawa.

“Kok bisa ya aku menuliskan seperti ini. konyol sekali. Dimana coba unsur sastranya. Konfliknya gak ada lagi. Monoton. Nanti kalau giliranku maju bagaimana? Bisa mati aku”, ucapku dalam hati dengan raut wajah tak menentu.

”Harus berapa lama lagi aku melek supaya cerpenku bisa bagus?”

“Berapa banyak lagi buku referensi yang harus aku baca?”

“Wangsit apa lagi yang perlu aku cari?”

“Apakah cuma aku yang merasakan kegilaan ini?” tanyaku secara terus-menerus yang tak tertuju ini.

“Aku percaya aku bisa kok. Aku tidak sendirian. Iya kan Tuhan?”, aku selalu bertanya kepada Tuhan seusai sholat. Di dalam keterbatasanku sebagai manusia, aku masih percaya bahwa Tuhan tidak akan tinggal diam atas hidupku ini. Tuhan pasti akan menolong hambanya. Termasuk aku. aku ini memang kadang seperti orang gila. Suka tapi benci pada menulis. Mana bisa?

Suara langkah hak tinggi memasuki ruangan kelas. Diikuti suara sepatu teman-temanku secara bersamaan. Setiap langkah kakinya menabuh genderang kencang dalam hatiku. Tatapan matanya seakan melumpuhkan cinta yang sedang berbunga. Aku sangat kagum dengan beliau. Bu Dosen yang cantik, anggun, dan penuh dengan senyum. Aku sangat mengagumi kepiawaiannya menulis fiksi maupun karya ilmiah. Suara merdunya dapat menyihir dan menyalakan semangat motivasi. Namun, aku takut akan suaranya. suara yang dihasilkan lewat alat ucap yang sangat mematikan. Aku sangat takut jika ditunjuknya untuk membacakan hasil karyaku di depan kelas.

 

---

 

“Aku selamat. Aku selamat. Aku berhasil lolos”, aku berteriak dengan lantang dalam hati.

Seratus menit telah berlalu. Aku berhasil melewati mata kuliah ini dengan sangat lancar. Mulus sempurna. Terdapat dua temanku maju membacakan cerpen karyanya masing-masing. Aku berhasil lolos. Aku tak maju. Aku hanya mendengarkan cerpen mereka yang lumayan bagus menurutku. aku sellau saja minder kalau soal karya. Ah, andai aku bisa seperti kalian. Andai menulis tak seruwet ini.

Kacang kulit sebungkus siap. Hati dan pikiran siap. Secangkir kopi panas tak lupa menemani. Aku tak ingin menyerah begitu saja. Akan aku benahi cerpen sialan ini. cerpen yang telah membuat jantungku berdegup kencang selama seratus menit tadi. Aku tak boleh kalah oleh keadaan. Aku masih sanggup bertempur dengan kata-kata dan kalimat ini.

Kacang telah berkurang setengahnya. Segala jurus yang telah ku pelajari pagi tadi ku coba terapkan. Cerpen yang ku benahi tak kunjung selesai. Pikiranku bingung bukan main. Semakin tahu ilmunya semakin aku takut salah. Ini bukanlah diriku sendiri. Aku bukanlah seorang yang takut salah oleh hal-hal yang sepele. Terlalu banyak ide dalam kepalaku. Semuanya menjejal menjadi satu berebut untuk ku tulis semuanya. Malam ini ku akhiri dengan tertidur pulas dengan cerpen yang belum tuntas.

 

---

Hari-hari yang ku lalui tampak normal seperti mahasiswa umumnya. Kuliah, mengerjakan tugas, organisasi, konflik batin. Semuanya pernah aku alami. Hari terus bergulir tepat mendarat pada hari senin.

”Mata kuliah menulis. Huh”, ucapku berlalu meninggalkan tempat tidur.

Lama-kelamaan aku terbiasa dengan tekanan ini. Jantungku tak kaget lagi mendengar kata ‘menulis’. Aku sudah terbiasa dengan keadaan yang seperti ini. aku bahkan ingin cerpen yang aku buat ini ku bacakan dan silakan mereka menertawakan. Aku berfikir aku akan berbakat membuat cerpen yang beraliran humor.

Teapt sekali. Tidak meleset. Hari ini aku membacakan cerpenku di depan kelas. Sesuai dugaanku sebelumnya. Aku memang berbakat membuat cerpen humor. Semua teman tertawa mendengar cerita cerpenku yang berkisah mengenai seorang remaja saling jatuh cinta. Mereka berkomentar bahwa cerpenku ini sudah pernah. Seperti di TV.

Aku mengambil kesimpulan bahwa cerpen yang tak berkonflik, beralur maju, mudah ditebak ceritanya, dan sudah pernah alias monoton adalah cerpen yang lucu. Buktinya pagi itu seisi kelas tertawa karena cerpenku. Berarti aku berhasil.

”Kok kamu bisa sih bacain cerpen yang itu?” Tanya Salwa dengan tertawa.

“Memang kenapa? Bukannya cerpenku ini berhasil?”, tanyaku tak mengerti.

“Telah banyak cerpen yang telah kau hasilkan. Tak ada yang memungkiri kegigihanmu dalam berusaha. Aku sempat membaca karyamu yang satunya dan itu cukup bagus. Lalu kenapa kamu membacakan cerpen konyol seperti tadi?”, bantah Salwa tak terima sahabatnya menjadi bahan tertawaan.

“Aku hanya ingin tahu saja. Seberapa besar kalian menghargai sebuah karya? Bukankah karya terlahir dari pergulatan batin seorang penulis? Sejelek dan sebodoh apapun, kita tak patut menilainya baik atau buruk. Semua berada dalam porsinya dan tempatnya masing-masing”, bantahku dengan ketus

Sejak saat itu, semua mata menatapku dengan pandangan yang berbeda. Mengisyaratkan aku ini perlu ditelisik lebih dalam lagi. Semua orang aneh. Semuanya aneh. Aku tak bisa diperlakukan seperti ini.

 

---

 

Ini aku, bukan kamu

Ini karyaku, bukan karyamu

Aku pecandu yang suka berburu

Berburu prasangka dalam hutan sastra

Ini adalah aku dengan segalaku

 

Dengan lantang ku bacakan puisi atau entah apa namanya di depan kelas menulis. Aku menjiwainya lebih dari apapun menurut pandanganku. Tepuk tangan tak bernada terdengar gemuruh memecah keheningan. Deretan kata yang baru saja selesai ku tulis ini ternyata mantera ampuh untuk membuatku kembali tumbuh.

 

Sekantika, 8 Desember 2016

 

Kategori: Serba Sastra
Tag: -

0 Komentar

    Komentar Anda