Aroma daun menusuk mata hitam yang telah seharian tidak istirahat. Balutan nada terdengar syahdu dalam buaian perbedaan. Pontang-panting jabatan tampak mengatur segala hal yang berbalut nada. Sesepuh masih bertahan dengan sisa kekuatan. Kegelapan mengelilingi hingar bingar di dalam ruangan. Kertas warna warni tertempel pada sebuah kain hitam yang sederhana. Musik beradu dalam satu naungan. Membuat suasana dini itu semakin meriah. Berbeda tapi satu tujuan. Masing-masing mempunyai ciri khas yang akan dipamerkan dini itu. Semuanya tampak terlihat mewah dengan balutan yel-yel dan vlog dari masing-masing kubu. Tiba-tiba sentuhan lembut membuyarkan semuanya.
Aku melihat dunia dihiasi gemerlap kemewahan dimana-mana. Para gadis sibuk bersolek untuk memikat lawan jenisnya. Bibirnya tergores oleh gincu yang menutupi pancaran bibir sebenarnya. Alis yang berbentuk bulan sabit dan alis sincan terlihat di sana-sini. Hamburan bedak-bedak tebal menjerit tak ingin dipamerkan. Semuanya tampak mewah dan gemerlap. Seakan kecantikan yang sesungguhnya telah digulung ombak perubahan. Yang cantik tak lagi yang berhati baik, bersenyum manis, dan beramah-tamah. Takaran cantik bergeser demi kebutuhan. Hanya aku dan teman baruku yang masih setia tanpa ornamen kepalsuan.
Namaku Ekantika, Ekantika Kinari. Aku mengenal Ekanta sehari yang lalu. Kami bertemu secara tidak sengaja dalam suatu kewajiban yang sama. Aku adalah seorang mahasiswa yang jauh dari ukuran cantik pada umumnya. Wajahku tidak terlalu cantik, dengan proporsi hidung yang melekat diantara kedua mata dan kedua pipiku. Tatapan mataku tajam dengan bulu mata yang lentik melengkung ke atas. Satu dua bekas jerawat masih ikut berjejal di area wajahku. Aku mempunyai berat badan yang subur. Tinggiku kurang lebih 164 cm. tak jauh berbeda dengan Ekanta, Cuma Ekanta memiliki tubuh yang lebih subur dariku.
Kami dipertemukan tanpa sengaja dengan kesamaan nama yang 99% hampir mirip. Kami layaknya saudara kembar yang terlahir dari satu rahim. Berbagai kesamaan-kesamaan selanjutnya muncul secara berkelanjutan. Aku dan Ekanta sama-sama tidak suka berdandan. Bukan kami tak ada bakat untuk bersolek, bukan kami tak ingin cantik menawan mempesona dengan perhatian banyak lelaki, bukan kami tak ingin beda dengan gadis-gadis yang lain, tapi kami telah terbiasa hidup tanpa dempul-dempul kepalsuan sejak kecil. Kami pun merasa aneh dan malu jika kami menghias wajah dengan goresan-goresan yang menguras kantong dan bersifat semu itu.
Aku memang mempunyai motif lain selain tidak terbiasa dari lahir. Salah satunya adalah keadaan ekonomi. Harga cat dan kuas untuk bersolek kan lumayan melangit. Dimulai dari bedak day cream yang harganya berkisar tiga puluh lima sampai lima puluh ribu, bedak nigh cream pun juga sama. Maskara yang harganya diatas lima puluh ribu. Gincu yang berkisar dua puluh sampai lima puluh ribu, belum lagi bedak padat, bedak tabur, pembersih wajah, atau apalah tetek bengek teman-temannya yang lain. Itu masih dalam ukuran harga menengah ke bawah. Aku tahu semuanya dari hasil bertanya kepada salah satu temanku. Bisa kebayang kan kalau harganya menengah ke atas? Jika ditotal semuanya jumlahnya melebihi dari uang makanku selama satu bulan di perantauan. Bayangkan betapa meruginya aku jika aku menggunakan semuanya. Tanpa itu semua pun aku masih tetap cantik dalam pandangan yang lain. Berbeda dengan Ekanta yang berlatar belakang penuh dengan kemudahan. Bilang ini ada, ingin ini ada, ingin itu ada, tapi aku sangat bangga mempunyai teman yang sederhana penampilan dan berfikiran mengangkasa sepertinya.
Pancaran wajah cerah dan bersinar mempesona menghiasi pagi itu. Aku dan Ekanta tak dalam satu arah yang sama. Aku harus menusuri rumput-rumput hijau yang baru saja terinjak oleh kaki manusia. Udara fajar yang menusuk ke dalam hirupan semangat kami mencari jalan yang terbaik. Kami berlima sedang melakukan perjalanan fajar itu. Membuka ilalang, menerobos tumbuhan liar, memberi tanda sana-sini. Ini memang bukan hal pertama bagiku, akan tetapi suasana seperti ini barulah aku rasakan. Semua orang memperhatikan langkahku dengan saksama. Takut akan aku jatuh atau bagaimana aku tidak paham. Yang lainnya sibuk mendengarkan ocehan yang tiap kali keluar dari mulutku. Ada juga yang terus tersenyum ke arahku. Semua orang sinting, orang aneh. Kami berlima memang dalam satu tim dalam mencari jalan buat berpetualangan. Tim kami terdiri dari tiga cowok dan dua cewek. Rian, Bang Rio, dan Arka adalah ketiga cowok itu, dua lainnya adalah aku dan Adhisti.
Fajar itu kurasakan semua berbalik, bukan seperti yang di atas menjadi di bawah. Yang alim menjadi buruk. Ini seperti dunia yang tidak ukuran semestinya. Aku dan Ekanta menjadi pusat perhatian. Rasa aneh menyelimuti fajar itu. Sampai-sampai aku sinting dengan tingkah mereka. Aku yang sehari-harinya biasa saja, tidak begitu berpengaruh dalam organisasi ini. Aku yang biasanya diacuhkan, kini menjadi berbeda. Seakan gincu sudah tidak menarik lagi, bedak-bedak mendadak tidak layak menempel pada lukisan wajah.
Aku dan rombongan masih dalam pencarian. Raffia merah telah tersebar sebagai pertanda daerah yang tidak boleh dilalui. Sepanjang perjalanan itu, aku melihat senyumnya begitu menawan. Lebih segar dari udara fajar di pegunungan. Bang Rio memang selalu menawan. Sejak pertama aku masuk radio memang Bang Rio lah yang menjadi pandangan pertamaku. Bang Rio yang selalu ku mimpikan senyumnya tiap malam kini tersenyum lebar kepadaku. Kepadaku. Hatiku seperti berhenti bergerak. Nadiku terasa menyeruak timbul ke permukaan. Senyum yang diberikannya saat ini memang masih abu-abu. Tak tentu itu senyum apa. Aku mah apa atuh, wanita biasa yang sering berimajinasi, bermimpi menjadi seorang puteri yang cantik dan menawan.
“Dek, berat ya? Sini biar Mas saja yang bawain”, Tanya Bang Rio sambil mengambil ember yang aku bawa.
“Hehehe. Tidak usah Bang, tuh bantuin Adhisti aja yang lebih berat. Perkap kan strong Bang”, jawabku menolaknya.
“Kalau Adhisti mah gak usah ditanya sudah kuat Dek”, Bang Rio masih ngotot dengan niat awalnya.
Ember yang semula bertengger di tangan kanan dan kiriku kini telah berpindah di pangkuan Bang Rio.
“Lain kali panggil Mas kenapa Dek”, protesnya yang sedari tadi ku panggil dengan sebutan Bang.
Serombongan kontan mengeluarkan ledekan kompak tanpa diminta dan dikomando. Ahh,,,, pagi itu memang seperti sebuah mimpi. Aku semakin terbuai saja dengan sikap Bang… maksudku Mas Rio.
Tak lama kemudian kita sampai pada sebuah rumah mungil di pinggir sungai kecil. Rumah impian para pasangan muda. Rumah sederhana dengan arsitektur yang mahal menjadi daya tarik tersendiri. Tak jauh dari rumah terdapat tempat pembuangan sampah. Sampah kosmetik mendominasi tempat itu. Ingin aku menelusuri dan mengambil beberapa bagian kosmetik yang berceceran itu.
“Ini orang pada sinting ya. Kenapa kosmetik pada dibuang sih? Bukannya setiap hari merekamembutuhkannya ya. Ini kenapa sih kok semuanya jadi aneh. Tidak dalam sewajarnya”, batinku dalam hati.
Tanpa ku sadari sedari tadi make-up Adhisti juga tidak on seperti biasanya. Polos tanpa make-up apapun yang melekat. Aku semakin linglung sekaligus senang oleh perubahan ini. Aku senang karena wanita tidak lagi dipaksa menjadi cantik dengan make-up. Di sisi lain aku juga kebingungan dengan semuanya. Nyata apa tidak sih? Aku cubit pipi kanan dan kiriku. Rasa sakit yang dihasilkan menandakan ini adalah nyata.
Lanjut perjalanan melewati sungai kecil itu. aku melihat Ekanta melambai di seberang sana. Wah… tanda pos lima sudah dekat. Berarti kita sudah sampai pada bumi perkemahan lagi. Pos lima adalah pos terakhir dekat dengan bumi perkemahan yang telah ditentukan tempatnya sebelumnya. Kulihat wajah Ekanta berseri tersenyum dengan tangannya melambai manja.
“Apaan sih Ekanta. Sok cantik banget. Kenapa sih tuh anak kok gak seperti biasanya. Kesambet setan apa tuh”, gumamku dalam hati lagi.
Hmmmm… pantesan dia cengengesan. Terlihat Mas Lion sedang mengikat bambu dengan rafia untuk keperluan di pos lima nantinya. Walaupun baru mengenal Ekanta sehari. Aku telah mengetahui perasaannya terhadap Mas Lion. Perasaan yang telah dipendamnya selama tida tahun lebih itu. Ekanta dan Mas Lion adalah satu jurusan. Ekanta mengenal Mas Lion sebelum ia terdaftar menjadi fungsionaris UKM Radio ini. Malam sebelumnya Ekanta bercerita semalam suntuk kepadaku sampai tertidur. Aku melihat dari Mas Leon di hatinya dalam rangkaian ceritanya. Tapi ini berbeda dari yang diceritakan Ekanta kepadaku. Mas Leon dalam ceritanya Ekanta adalah Mas Leon yang dingin, yang tau Ekanta ada rasa terhadapnya tapi diam saja. Membiarkan Ekanta menjadi bayang-bayang Mas Lion di dunia nyata. Mas Leon memang tidak menolak saat Ekanta mengintili dari pagi sampai sore. Sampai-sampai semua jurusan sudah mengetahui jika Ekanta mempunyai rasa terhadap Mas Leon tetapi tidak dianggap oleh Mas Leon.
Sikap Mas Leon dan Ekanta ini mengundang syirik dan iri dari wanita lain yang sama-sama menyukai Mas Leon tetapi gengsi untuk bilang dan mendekat. Bisanya hanya menyuruh Ekanta agar jauh-jauh dari Mas Leon.
Keanehan kembali terjadi saat kuliah Mas Lion meminta Ekanta untuk membantunya membangun sebuah gawang bersama.
“Ta, tolongin Gua dong Ta”, pinta Mas Leon dengan logat metropolitannya.
“Eh, iya Mas” dengan sigap Ekanta segera membantu.
“Lu gak peka atau gimana sih. Dari tadi gua lagi buat gawang juga kagak dibantuin”, gerutu Mas Leon dengan kesal.
“Maaf Mas. Biasanya kan Mas Leon gak mau kalau Tika bantu”, jawab Ekanta membela.
“Yee…. Asal ngambil kesimpulan aja lu. Emangnya biasanya gua gitu ke elu ya Tik?”, Tanya Mas Leon penuh penasaran.
Hehehe…. Ya gitu lah Mas”, sahut Ekanta dengan hati yang berbunga-bunga.
Begitulah kedua insan di pos lima itu yang membuatku iri dibuatnya. Ah, andai saja Ekanta tau apa yang aku alami selama perjalanan membelah hutan cakrawala yang membuat hatinya juga terbuka untukku. Pasti Ekanta lebih iri padaku.
Setelah semua rombongan menyeberang sungai, barulah aku yang berjalan perlahan menapaki satu demi satu bambu yang letaknya lumayan renggang. Aku memang takut pada sungai sejak kecil. Trauma akan gossip yang beredar jika sungai itu ada buaya dan ularnya telah membuatku enggan mendekat dengan sungai sampai saat ini walaupun aku sudah besar dan sudah tau kenyataanya. Tetapi bagiku sungai adalah sosok yang menakutkan yang perlu aku jauhi dan hindari.
Ember yang dibawa Mas Rio telah diletakkan di pos masing-masing. Tangan kosong Mas Rio kini telah menyentuh tanganku. Mas Rio memegangiku supaya tidak terjatuh. Mas Rio berjalan di depanku meyakinkanku kalau jembatan yang terbuat dari bambu yang sudah tua ini aman. Bagaikan mimpi di negeri dongeng. Tanganku dipegang sama Mas Rio. Ya Tuhan, ini cobaan atau anugerah. Rasanya kok aku seperti terbang tinggi di angkasa. Melihat bintang-bintang dan masa depan yang cerah.
Langkahku sampai pada dua terakhir bambu jembatan itu, dan Mas Rio telah selamat menginjak tanah seberang sungai. Tiba-tiba jleb!!! Aku terperosok dalam sungai dan tenggelam di sungai. Aku terkejut tak terhingga samapai-sampai aku menjerit minta tolong dan menyebut nama Mas Rio. Saat itu juga tangan kasar Ekanta menyentuhku dan membangunkanku.
“Tik, sadar, kamu kenapa? Bangun Tik”, Ekanta membangunkanku dengan menggoyang-goyangkan tubuhku.
Aku terperenjat. Mataku membukakan kelopaknya tanpa dikomando oleh syaraf. Aku kaget bukan main. Ahh… sialan… rupanya aku tertidur di ruangan ini, dan dengan kerasnya aku menyebut nama Mas Rio. Aduh, begonya aku. Dunia yang indah seakan hilang dalam waktu sekejap. Huh dasar.
“Ayo Dik pindah saja ke ruang tidur panitia”, ajak Mas Rio dengan senyum.
Sekantika, 8 Desember 2016