Bapak Masa Kecilku

“Ayah, dengarkanlah. Aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi.” Alunan lagu terakhir yang berdendang sebagai lagu penutup. Sosok lelaki tua itu berpenampilan sewajarnya. Tidak rapi, tidak juga compang camping. Lelaki tua itu mirip seorang seniman, dengan memakai kemeja khas Jawa lengkap dengan celananya dan juga memakai batok kepala khas Jawa.

Aku memang sudah terbiasa mendengar dan melihat pengamen lalu lalang. Bahu membahu menaiki bus untuk sekadar mencari rejeki. Mereka rata-rata membawakan lagu orkes dangdut khas pantura dengan sentuhan gendang yang mendominasi. Namun, lelaki tua ini berbeda dengan pengamen pada umumnya. Suaranya merdu,  lagu yang didendangkan penuh dengan nasihat dan pepatah Jawa. Genjrengan  terakhir telah usai, masih ditemani dengan genjrengan, lelaki tua ini menyampaikan “Matur nuwun Bapak ingkang sampun golek rejeki kanthi ikhlas kanggo anakmu sing sakiki ono ing terminal Terboyo iki Bapak. Mugi-mugi Bapak diparingi sehat lan panjang umur.” Seketika air mataku menetes, mengingat Bapak yang berada di rumah. Mengingat semua kerja kerasnya. Semua pengorbanannya untukku.

Aku memang sensitif kalau soal orang tua. Aku selalu kangen kepada mereka. Air mataku mengalir deras secara kasat mata maupun tidak. Suatu ketika aku dan Bapak sedang naik sepeda bersama, diterpa angin pantai dan rintiknya hujan. Aku duduk di atas daun Waru yang diikatkan di boncengan belakang sepeda. Waktu itu keluargaku masih memiliki kambing. Sore hari adalah waktu yang digunakan Bapak untuk mencari makan kambing kami. Aku kerap kali ikut dengan Bapak mencari daun-daun untuk makan kambing-kambing kami. Rumahku yang dekat dengan laut mengharuskan aku dan Bapak melewati pantai setiap kali pulang pergi mencari daun-daun. Bapak sering bercerita di sepanjang perjalanan. Bercerita yang indah-indah tentang hidup ini. Bapak selalu berkata bahwa kelak aku harus menjadi orang hebat sepeti Soekarno, Habibie, atau Gusdur. Bapak tak pernah bercerita padaku tentang kejamnya dunia. Mungkin dunia zaman dahulu belum sekejam zaman sekarang.

Aku sering menangis kepada Ibu saat ada angin kencang dan kilat yang menyambar. “Bu, bagaimana dengan Bapak? Bapak kan tidak membawa selimut.” Kataku dengan polos ketika Bapak sedang berlayar dan cuaca sedang tidak baik. Ibu menyembunyikan kekhawatirannya dengan tenang dan menjawab pertanyaanku, “Bapakmu akan baik-baik saja. Bapak kan disana ada temannya. Pasti nanti kalau ada apa-apa mereka akan saling menolong.”  Ibu selalu saja bisa membuat hatiku tenang.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengenal dunia pendidikan dasar. Bapak selalu menyanyikan lagu-lagu Jawa ketika memandikanku. Bapak memang selalu memandikannku sebelum berangkat ke sekolah, mendandaniku dengan bedak yang tidak rata. Mengayuh sepedanya untuk mengantarkanku ke sekolah. Semuanya masih dilakukan Bapak dengan harapan kelak aku akan menjadi orang hebat.

Lagu Jawa selalu mengingatkanku dengan Bapak. Saat ini aku jauh dari belaian Bapak. Bapak rela melepaskan anak perempuan satu-satunya jauh dari dekapannya dengan harapan anaknya akan menjadi orang hebat. Bapak masih setia bersedia memeras tenaganya untuk biaya pendidikannku yang tinggi ini. Bapak selalu tersenyum tiap kali aku pulang ke rumah.

Aku memang tidak sedekat dulu dengan Bapak. Bapak tahu bahwa sekarang aku sudah besar. Nasihat dan pepatah Jawa pun sekarang sudah tidak pernah keluar dari tuturan bijaknya. Bapak hanya tersenyum manis sambil menonton televisi, menyeruput secangkir kopi, dan menikmati masa tuanya yang masih menanggung beban menjadikannku orang hebat.

Aku selalu berjanji akan menjadi orang hebat untuk Bapak. Itulah kenapa sebabnya aku ingin terlihat lebih dibanding teman-temanku. Aku menutupi segala keterbatasanku dan berusaha tampil hebat. Bapak memang tidak tahu menahu apa yang aku lakukan di kampus. Bapak juga tidak pernah bertanya soal nilai akademikku. Bapak memang tidak memahami dan tidak mengerti akademik dan antek-anteknya. Tetapi, Bapak menyadari bahwa aku melakukannya dengan baik, walau belum menjadi hebat. “Akan terus ku coba Pak” kataku dalam hati.

 

Sekantika, 9 Oktober 2016

Kategori: Nitip Kisah
Tag: -

0 Komentar

    Komentar Anda